Selasa, 24 Desember 2013

BB Sebagai Upaya Menyelamatkan NKRI Dari Problem Disintegrasi Bangsa
Bertahun-tahun bahkan berabad-abad lamanya bangsa Indonesia menjadi negara jajahan para penjajah, mulai dari Portugis, Belanda, maupun Jepang. Perampasan-perampasan kejih dilakukan oleh para penjajah mulai dari perampasan kekayaan alam, tenaga manusia, hingga perampasan jabatan-jabatan pemerintahan. Saat itu keadaan negara dan seluruh masyarakat kita sangat memprihatinkan. Banyak korban berjatuhan akibat kerja paksa yang dilakukan penjajah saat itu, karena rakyat hanya diambil dan diperas tenaganya tanpa jaminan makan. Sementara itu rakyat juga tidak dapat menikmati hasil bumi dari kerja keras mereka berbulan-bulan karena hasil bumi tersebut harus diserahkan kepada penjajah untuk keperluan pasukan dan pemerintah penjajah. Karena kondisi itulah, maka rakyat Indonesia mulai sadar akan kondisi yang mereka alami sehingga muncul berbagai perlawanan terhadap para penjajah dari seluruh wilayah Indonesia. Karena persamaan nasib yang mereka alami, rakyat Indonesia menyatukan tekat dan rela mati mengusir para penjajah dari bumi pertiwi demi meraih berlian yang mereka impikan yaitu sebuah kemerdekaan. Akhirnya berkat upaya-upaya dan semangat perjuangan dari seluruh rakyat Indonesia, kemerdekaan yang diharapkan tercapai melalui tercetuskannya Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945. Sejak saat itulah rakyat Indonesia menyatakan lepas dari ikatan hukum penjajah dan belenggu para penjajah. Dengan dicetuskannya Proklamasi Kemerdekaan, bangsa Indonesia telah membentuk suatu negara merdeka yang mempunyai komitmen untuk terus bersatu dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Komitmen itu akan selalu dijaga oleh bangsa Indonesia sebagai hasil perjuangan akbar yang tidak pernah ada duanya. Hingga saat ini komitmen itu telah terwariskan kepada kita untuk menjaga keutuhan Indonesia karena Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah harga mati bagi kita semua.
Setelah sekian lama kita merdeka, muncul masalah baru yaitu disintegrasi bangsa. Disintegrasi adalah pepecahan bangsa menjadi beberapa bagian yang terpisah. Bangsa ini seperti terpukul dengan adanya tindakan-tindakan separatis beberapa daerah yang ingin melepaskan diri dari NKRI. Sebut saja setelah keberhasilan Timor-timor melepaskan diri dari negara Indonesia, muncul berbagai gerakan-gerakan separatis lainnya seperti RMS, GAM, dan gerakan-gerakan lainnya. Setelah masalah-masalah tersebut terselesaikan, kini kembali muncul gerakan separatis baru seperti Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang sangat berkeinginan keras untuk melepaskan diri dari wilayah kesatuan Negara Republik Indonesia. Seperti air mengalir, seperti itu pula masalah disintegrasi bangsa ini yang seolah-olah tidak ada hentinya bermunculan untuk mematahkan komitmen kita terhadap keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Gerakan-gerakan pemisahan diri yang dilakukan oleh beberapa wilayah di Indonesia akhir-akhir ini disebabkan oleh banyak faktor. Kecemburuan sosial terhadap pembangunan di pusat menjadi salah satu faktor penyebab ingin lepasnya daerah-daerah dari Indonesia. Selain itu, kapabilitas pemerintah yang lemah dan banyak merugikan rakyat menyebabkan rakyat tidak percaya lagi terhadap pemerintah sehingga mereka berkeinginan kuat untuk lepas dari pemerintah dan negara ini. Hukum, kebijakan, keputusan, sikap, tindakan dan peraturan-peraturan pemerintah yang tidak pro terhadap rakyat mengakibatkan kemarahan dan kealergian masyarakat terhadap pemerintah kita. Faktor lainnya adalah mulai melemahnya kesadaran masyarakat Indonesia akan nasionalisme pada negara dan melemahnya kesadaran akan toleransi terhadap berbagai perbedaan baik suku, RAS, budaya, maupun agama. Semua faktor tersebut hampir semua dimiliki oleh daerah-daerah yang ingin melepaskan diri, sehingga keinginan mereka semakin kuat diikuti dengan alasan-alasan kuat mereka juga. Contohnya saja masalah perbedaan agama, baru-baru ini terjadi penindasan terhadap kaum-kaum minoritas agama yang berada di suatu wilayah. Akibatnya, terdapat daerah yang ingin mendirikan daerah agama seperti daerah Islam, daerah Kristen, dan daerah agama lainnya.
Gerakan-gerakan separatis yang dilakukan oleh daerah yang ingin melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia sudah tergolong gerakan ekstrim seperti OPM saat ini. Tindakan mereka telah menyebabkan keresahan terhadap penduduk sekitar, merusak sarana-sarana negara, merusak rumah-rumah penduduk dan membunuh orang-orang yang tidak berdosa sehingga jatuh korban yang tidak sedikit jumlahnya. Jika hal tersebut tidak segera ditanggulangi oleh kita semua khusunya pemerintah, maka jumlah korban akibat peristiwa tersebut akan semakin bertambah banyak. Jika kita perhatikan fenomena menjamurnya gerakan-gerakan separatis seperti OPM tersebut, maka akan semakin tipislah harapan kita untuk menjaga negara kita tercinta ini dari keutuhan abadi. Pemerintah yang ada saat ini terlihat semakin kewalahan dalam menuntaskan masalah-masalah yang seolah-olah tidak ada henti-hentinya mendera negara ini khususnya masalah-masalah disintegrasi bangsa.
Tidak ada masalah yang tidak ada jalan keluarnya, itulah kata-kata yang kita percaya hingga saat ini termasuk masalah-masalah yang terjadi di bumi pertiwi. Masalah disintegrasi bangsa ini menurut hemat penulis dapat diselesaikan dengan BB. BB disini bukan dalam artian BlackBerry ataupun BB yang lain, tetapi BB yang dimaksud adalah Bercermin dan Bertindak. Pertama yang dimaksud bercermin disini adalah, bercermin pada hakikat bangsa Indonesia itu sendiri. Sudah saatnya bangsa ini bercermin akan pluralitas dan perbedaan yang telah kita miliki sejak dahulu. Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang kaya akan berbagai macam perbedaan mulai dari perbedaan suku, budaya, RAS, agama, kepercayaan, adat, dan yang lainnya. Saat berdirinya negara ini, para pendahulu kita telah berkomitmen untuk bersatu dalam perbedaan sehingga kita menjadi bangsa yang berintegritas dalam pluralitas. Kita harus kembali mengingat secara mendalam sejarah bangsa ini terbentuk agar ketika kita telah bercermin pada masa lalu, kita dapat memahami apa arti dari kemajemukan bangsa ini. Kita berharap setelah kita bercermin, kita akan kembali dapat menerima segala perbedaan yang ada, bangkit bersama untuk saling melengkapi kekurangan, dan memupuk bersama nasionalisme kita untuk nusa dan bangsa. Dengan begitu tidak ada lagi usaha-usaha untuk memisahkan diri dari kemajemukan bangsa ini yang pada akhirnya akan merugikan diri sendiri. Kedua adalah bertindak. Yaitu setelah bercermin dan sadar akan pluralitas bangsa, kita mampu mewujudkannya dalam tindakan kita sehari-hari. Wujud dari semua itu bukan hanya terucap dalam kata, tetapi terwujud dari sikap dan perilaku kita sebagai bangsa yang plural dan mempunyai integritas tinggi. Kita harus kembali menjalankan dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila yang saat ini semakin kurang diperhatikan eksistensinya. Sebagai manusia Indonesia yang bertuhan kita harus menerapkan sikap toleransi kita terhadap pemeluk agama lain, menghormati hak-hak asasi manusia,  menjaga persatuan bangsa dan negara dan bermusyawarah dan mufakat saat menyelesaikan sesuatu. Terhadap kasus-kasus disintegrasi yang ada, sudah saatnya kita ikut andil dalam menyelesaikannya dengan cara sosialisasi nasionalisme, menyelesaikan masalah dengan damai bukan berperang, dan usaha-usaha lainnya agar keharmonisan bangsa kita tetap terjaga demi menjaga dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Senin, 23 Desember 2013

Menanggulangi Mental Koruptor Akademisi

MENANGGULANGI MENTAL-MENTAL KORUPTOR
DIBALIK SEORANG AKADEMISI
Tidak henti-hentinya semua kalangan baik kalangan masyarakat, kalangan akademis, maupun kalangan birokrasi membicarakan masalah korupsi. Korupsi seolah-olah menjadi santapan wajib yang harus mendapat sentuhan oleh masing-masing orang untuk dibicarakan. Tema korupsi semakin mendapat tempat khusus dalam setiap kajian termasuk dalam kesempatan kali ini. Korupsi berasal dari bahasa Latin yaitu corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik, atau menyogok. Korupsi dapat dimaknai sebagai penyalahgunaan wewenang dalam jabatan yang dimiliki oleh seseorang. Seiring perkembangannya, korupsi semakin diperluas dalam berbagai makna seperti; memakan uang rakyat, mencontek, suap-menyuap, terlambat masuk kelas, dan masih banyak yang lainnya. Dalam kajian ini, penulis mencoba memfokuskan bahasan terhadap tindakan korupsi yang ada dibalik seorang akademisi atau bisa dikatakan kalangan terpelajar. Penulis lebih memfokuskan kajian terhadap mental malas sebagai salah satu bentuk bibit-bibit koruptor yang ada pada akademisi di tingkat perguruan tinggi.
Seperti yang  diketahui bahwa seorang akademisi atau kalangan terpelajar merupakan investasi negara sebagai penerus bangsa. Dapat dikatakan bahwa nasib bangsa dan negara kedepannya sangat ditentukan oleh generasi muda khusunya para akademisi tersebut.  Melalui Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (DIKTI), pemerintah selalu mengusahakan peningkatan SDM Indonesia melalui bidang-bidang akademis. Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah setiap tahunnya untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Upaya-upaya yang dilakukan pemerintah antara lain; pemberian beasiswa bagi orang-orang berprestasi dan kurang mampu, penetapan kebijakan uang kuliah tunggal (UKT), pembangunan sarana dan prasarana yang memadai, pembenahan kurikulum, serta berupaya bekerjasama dengan badan-badan usaha dalam hal pengadaan berbagai macam beasiswa. Usaha-usaha tersebut tentunya harus diimbangi dengan peran masyarakat, dalam hal ini akademisi untuk saling mendukung upaya pemerintah tersebut. Seorang akademisi, hendaknya menggunakan secara penuh dan bertanggung jawab terhadap seluruh fasilitas yang telah diberikan oleh pemerintah. Mahasiswa tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan yang telah didapat ketika sudah berada di perguruan tinggi yang diinginkan.
Namun fenomena yang banyak ditemui oleh penulis telah berkata lain. Tidak sedikit akademisi, dalam hal ini mahasiswa yang tidak bisa menyeimbangkan usaha-usaha yang telah dilakukan oleh pemerintah. Banyak mahasiswa yang justru menyia-nyiakan kesempatan yang mereka peroleh, dan parahnya tidak sedikit mahasiswa yang tergolong dalam hal tersebut adalah mahasiswa yang mendapatkan kesempatan untuk menerima beasiswa yang diberikan oleh pemerintah. Kebiasaan telat, bermalas-malasan untuk kuliah, kuliah ala kadarnya, serta banyak bermain-main merupakan kebiasaan-kebiasaan yang sangat sering disaksikan. Sejatinya mahasiswa merupakan agent of change dalam suatu negara yang seharusnya memberikan contoh-contoh positif serta teladan-teladan yang bermanfaat bagi orang-orang disekitarnya. Diketahui bahwa seleksi penerimaan mahasiswa yang dilakukan terpusat merupakan seleksi yang tidak mudah. Ribuan bahkan ratusan ribu orang memperebutkan bangku kuliah yang mereka impi-impikan hingga akhirnya diputuskan hanya beberapa ribu saja yang mendapatkan kesempatan. Sisanya adalah mereka-mereka yang belum beruntung, sehingga secara otomatis mereka yang telah mendapat kesempatan sebagai mahasiswa mendapat mandat dari mereka yang kurang beruntung untuk meneruskan perjuangan di bidang pendidikan. Dapat dibayangkan betapa kejam dan egoisnya seorang mahasiswa yang telah mendapat kesempatan sekaligus memendam harapan mereka yang kurang beruntung, jika telah menyia-nyiakan apa yang telah diperolehnya sebagai mahasiswa.
Sejatinya jika seorang mahasiswa bermalas-malasan untuk kuliah dan mengikuti berbagai macam kehidupan kampus, ia tidak berbeda dengan seorang koruptor. Apa alasannya? Bagi mahasiswa yang kuliah menggunakan biaya dari orang tua, sudah tentu jika ia bermalas-malasan maka secara tidak langsung ia telah menyalahgunakan kepercayaan dan biaya yang diupayakan oleh orang tuanya. Perlu diketahui bahwa orang tua yang berada jauh disana tidak habis-habisnya bekerja keras demi anak mereka, demi meningkatkan derajat putra dan putri mereka, serta mengangkat derajat keluarga. Orang tua hanya menginginkan anak mereka pandai dan sederajat dengan teman-teman sebayanya. Untuk mahasiswa yang dibiayai oleh beasiswa dari pemerintah, akan semakin jelas statusnya sebagai seorang koruptor jika ia menyia-nyiakan kesempatan untuk berkuliah. Setiap tahunnya pemerintah selalu mengalokasikan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dikhususkan untuk dana pendidikan. Dana pendidikan yang didapat dari APBN dialokasikan kembali kedalam bentuk pembangunan gedung, pengadaan buku-buku kuliah, penunjangan kurikulum, pemberian beasiswa, dan untuk kepentingan penunjang pendidikan lainnya. APBN yang ada merupakan uang rakyat yang didapat melalui hasil pemungutan pajak, retribusi, dan lain-lain. Ini berarti jika sebagai penerima beasiswa seseorang cenderung bermalas-malasan, maka ia tidak jauh berbeda dengan seorang koruptor karena telah mengorbankan dan menyelahgunakan uang rakyat. Penerima beasiswa dalam suatu perguruan tinggi merupakan sosok-sosok pemberi teladan bagi mahasiswa lainnya. Ini berarti, penerima beasiswa seharusnya dapat menjadi panutan bagi mahasiswa lain baik dari segi semangat belajar maupun semangat berorganisasi. Penerima beasiswa hendaknya menggunakan sebaik mungkin kesempatan yang diperoleh dengan lebih memompa semangatnya dalam berkuliah.
Refleksi
Dapat direnungkan bersama-sama berapa banyak orang disekitar yang kesempatannya harus tertunda untuk menuju jenjang perguruan tinggi. Janganlah menggebu-gebu untuk memberantas korupsi terlebih dahulu sebelum berkaca bagaimana dengan diri masing-masing. Memberantas korupsi bukan dimulai dari cara menerapkan undang-undang yang berlaku, memboikot aparat-aparat yang korup, ataupun berdemo besar-besaran menurunkan para koruptor dari meja birokrasi, tetapi memberantas korupsi yang paling efektif adalah dimulai dari diri sendiri. Dapat disaksikan juga saudara-saudara kita yang berada di pelosok-pelosok negeri, betapa besarnya semangat mereka dalam mencari ilmu. Mereka berani mengambil berbagai macam resiko demi mencapai sekolah yang mereka tuju, mulai dari berjalan kaki menelusuri hutan panjang hingga berenang menyebrangi sungai yang lebar dan berarus deras. Sementara sebagian besar orang-orang yang berada di kota malah sebaliknya. Dengan berbagai fasilitas yang memadai seperti jalan yang mudah dilalui, tersedianya kendaraan umum maupun pribadi, tersedianya fasilitas sekolah yang berjarak dekat, dan kemudahan-kemudahan lainnya malah membuat semangat yang dimiliki berlawanan arah dengan mereka. Cenderung malas, datang terlambat, bahkan memilih untuk membolos ketika tidak nyaman pada mata kuliah yang ditempuh merupakan hal-hal yang banyak ditemukan. Orang-orang yang berada di daerah yang memiliki fasilitas pendidikan mendukung cenderung terlena sehingga lebih sering disalahgunakan dan tidak dimanfaatakan sebaik mungkin.
Saran
Sudah saatnya membuang jauh-jauh mental koruptor yang ada didalam diri setiap mahasiswa. Sebagai seorang mahasiswa hendaknya kembali kepada kodrat yang sesungguhnya bahwa mahasiswa sebagai agent of change dalam hal ini perubahan menuju arah yang lebih baik. Memanfaatkan kesempatan sebaik mungkin merupakan salah satu rumusan wajib yang harus tertanam dalam masing-masing benak mahasiswa, tentunya kesempatan dalam melakukan hal-hal yang mengarah kepada kebaikan. Sudah saatnya untuk kembali mempertanggungjawabkan apa yang telah dicapai dan dimiliki. Mahasiswa bukan saatnya lagi untuk bermain-main hingga lupa akan tugasnya sebagai mahasiswa. Mahasiswa harus kembali kepada koridor yang sesungguhnya.

Cara-cara yang harus dilakukan mahasiswa untuk membuang mental-mental koruptor adalah dengan memulai segala sesuatu dari hal-hal yang kecil. Sebagai contoh, menata porsi tidur dan membiasakan bangun pagi, mengurangi kebiasaan-kebiasaan yang tidak terlalu penting, selalu mengerjakan tugas kuliah tepat waktu dengan pemikiran sendiri, ikut berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan kampus, dan menata ulang porsi belajar. Menata porsi tidur dan membiasakan bangun pagi bertujuan agar mahasiswa tidak lagi terjerat masalah bangun kesiangan sehingga akan berakibat telat saat masuk kuliah. Hal tersebut mempengaruhi penilaian dosen terhadap mahasiswa yang secara otomatis dapat menentukan prestasi mahasiswa yang bersangkutan. Meninggalkan kebiasaan-kebiasaan yang tidak terlalu penting. Contohnya bagi mahasiswi seperti  kebiasaan shopping (yang berakibat pemborosan terhadap uang saku yang dikirimkan oleh orang tua) dan ngobrol hingga lupa waktu. Untuk mahasiswa putra yang perlu dikurangi adalah kebiasaan nggame, kebiasaan begadang malam, atau kebiasaan keluyuran. Hal tersebut secara tidak sadar akan mengurangi atau bahkan membuang waktu-waktu produktif yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk menambah pengetahuan. Mengerjakan tugas kuliah tepat waktu dan atas pemikiran sendiri dimaksudkan untuk melatih mahasiswa tertib dalam penggunaan waktu dan menghindari tindakan plagiat (korupsi waktu dan korupsi karya orang lain). Selanjutnya adalah menata ulang porsi belajar. Ini dimaksudkan agar mahasiswa terbiasa menjalani kewajibannya untuk belajar dan membantu mahasiswa dalam mengurangi kebiasaan-kebiasaan yang dapat merugikan waktu dan produktifitas mahasiswa itu sendiri. Yang terakhir adalah ikut berpartisipasi aktif dalam kegiatan-kegiatan yang ada di kampus. Bermacam-macam kegiatan yang disediakan oleh kampus seperti organisai mahasiswa, UKM, dan seminar-seminar hendaknya diikuti oleh mahasiswa. Organisasi, UKM, dan seminar merupakan sarana bagi mahasiswa untuk memperoleh pengetahuan dan pengalaman lebih. Kegiatan-kegiatan itu membekali banyak sekali nilai-nilai baik terhadap mahasiswa seperti kepemimpinan, kerja keras, jujur, disiplin, kerja sama, dan nilai-nilai yang lain. Dengan bergabung dalam kegiatan-kegiatan kampus, mahasiswa dapat menimba ilmu lebih diluar perkuliahan dan dapat memperoleh relasi teman yang berguna di lingkup kampus. Mengikuti kegiatan kampus juga berguna untuk mengisi waktu luang mahasiswa setelah kuliah dan tentunya dapat mengisi waktu luang mahasiswa dengan hal-hal yang sangat berguna dibandingkan dengan bermain-main. Dengan cara-cara seperti itu, mental-mental koruptor yang ada pada setiap diri mahasiswa akan berkurang sehingga mahasiswa benar-benar sadar apa yang seharusnya ia lakukan dan apa yang yang seharusnya ia tinggalkan.

Mencontek dan Korupsi

Pengentasan Budaya Mencontek Mahasiswa
Dalam Rangka Mendukung Pelaksanaan Pendidikan Anti Korupsi
Korupsi berasal dari bahasa Latin yaitu corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik, atau menyogok. Korupsi dapat juga kita maknai sebagai penyalahgunaan jabatan dan kesempatan yang dimiliki utuk memperkaya diri dengan berbagai macam cara. Kita semua tentunya sudah tidak asing lagi dengan istilah korupsi, karena hampir setiap hari kita mendengar dan melihat adanya korupsi yang dilakukan oleh pejabat-pejabat negara mulai dari pejabat lokal hingga pejabat nasional. Korupsi di negara kita dapat diibaratkan sebagai pertumbuhan subur jamur di musim penghujan yang jika diambil satu akan tumbuh seribu. Karena itulah hampir seluruh masyarakat di negara ini mengalami krisis kepercayaan terhadap pejabat-pejabat negara. Lalu sampai kapankah mosi tidak percaya dari masyarakat ini akan berlangsung? Dapatkah korupsi di negara kita berkurang dan musnah? Siapakah sosok yang nantinya dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat luas terhadap jalannya pemerintahan? Tentunya dengan serempak banyak pihak yang menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan jawaban pendidikanlah solusi dari semua itu dan akademisi sebagai sosok agen perubahan menuju negara yang lebih baik.
Pendidikan yang diselenggarakan di negara kita haruslah sesuai dengan Undang-Undang Pendidikan yaitu Undang-Undang No.20 Tahun 2003 Pasal 3 yang berbunyi “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Dari pasal tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa pendidikan di negara kita selain untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, mengembangkan potensi diri, kreatifitas dan kecakapan, juga harus dilaksanakan dengan mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab untuk membentuk manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Mahasiswa sebagai agen perubahan (agent of change) di perguruan tinggi diharapkan dapat memberikan teladan yang nantinya dapat berguna bagi masyarakat luas, khusunya teladan dalam mengentaskan kasus korupsi di negara ini. Tentunya tidak sedikit usaha-usaha yang harus dilakukan oleh para agen perubahan tersebut untuk mempertanggungjawabkan statusnya. Kenyataan yang sering terjadi di lapangan, tidak sedikit mahasiswa yang malah menerapkan korupsi-korupsi kecil dalam kegiatan perkuliahannya, seperti datang terlambat saat jam kuliah, pulang awal sebelum jam kuliah selesai, bahkan yang sering terjadi adalah maraknya percontekan antar mahasiswa saat ujian dilaksanakan. Berbicara masalah percontekan tidak asing lagi bagi kita semua, sebab percontekan seolah-olah telah menjadi budaya bagi pelajar-pelajar maupun mahasiswa-mahasiswa di negeri ini. Mencontek saat ujian tidak lagi dipandang sebagai hal yang memalukan tetapi telah dipandang sebagai hal yang sudah biasa dan wajib dilakukan dalam setiap ujian mata kuliah. Anehnya lagi sesuai fakta yang pernah ditemukan penulis, mencontek diantara para mahasiswa dilakukan meskipun teknik ujian yang diberikan dosen berbeda-beda mulai dari take home exam, open book, close book, bahkan dalam ujian lisan pun masih ada mahasiswa yang berkesempatan membawa selembar kertas contekan untuk menjawab pertanyaan dosen dan tindakan tersebut tidak diketahui oleh dosen yang bersangkutan.
Ada 2 (dua) aktor penting yang menjadi penyebab mengapa mencontek saat ujian perkuliahan selalu dilakukan. Pertama adalah mahasiswa itu sendiri. Mahasiswa sebagai agen perubahan atau teladan dari para siswa hendaknya sadar akan posisi mereka. Mahasiswa yang menyontek saat ujian merupakan mahasiswa yang kurang percaya pada diri sendiri. Untuk membangkitkan percaya diri saat ujian, mahasiswa perlu memperbaiki pola belajarnya dengan memperbanyak membaca, mengulas ulang materi perkuliahan yang didapatkan, dan cara lainnya untuk mematangkan pola fikirnya. Kedua yaitu dosen pengajar di kelas. Banyak fenomena yang terjadi bahwa ketika mengadakan ujian, mahasiswa memiliki banyak kesempatan untuk mencari jawaban mahasiswa lainnya. Ini menunjukkan bahwa peran dosen pengajar masih belum maksimal dalam pengkondisian mahasiswa di kelas. Dosen hendaknya selalu memperhatikan kemandirian mahasiswanya dalam mengikuti ujian  dan dosen harus lebih objektif dalam mengondisikan kelas. Jika saat ujian dilaksanakan mahasiswa dapat dengan bebas mencontek jawaban teman atau bebas mencontek pada lembaran kertas contekan dan tidak ada tindakan tegas dari dosen, secara tidak langsung dosen tersebut telah mengajarkan sifat tidak jujur kepada diri mahasiswa. Hal tersebut yang menyebabkan lahirnya budaya mencontek di lingkungan mahasiswa saat ujian ketika tidak ada repon yang diberikan oleh dosen. Karena tidak ada pengawasan dan tindakan itulah mahasiswa menganggap bahwa mencontek itu sudah menjadi hal yang biasa saja dan aman-aman saja.
Untuk menanggulangi kebiasaan buruk tersebut, kehadiran pendidikan anti korupsi sangatlah diperlukan. Pendidikan anti korupsi dipandang perlu untuk dimuat dalam mata kuliah wajib yang harus ditempuh oleh mahasiswa demi menyadarkan akan pentingnya nilai-nilai kejujuran dan kemandirian dalam mengentaskan masalah korupsi. Pendidikan anti korupsi harus diajarkan dimulai dari hal-hal terkecil yang dilakukan mahasiswa sehari-hari, mulai dari pelatihan untuk tidak terlambat masuk kelas, untuk tidak meninggalkan kampus sebelum jam kuliah selesai, dan yang paling penting melatih kejujuran dan kemandirian saat diadakannya ujian. Untuk mewujudkan semua itu, diperlukan keseimbangan antara dosen, mahasiswa, dan pihak-pihak terkait. Dosen dituntut untuk teliti dalam memperhatikan mahasiswanya di kelas terutama ketika ujian berlangsung. Jangan sampai dosen memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk mencontek jawaban dari mahasiswa lain yang pada akhirnya merugikan mahasiswa itu sendiri. Selain itu dosen juga harus dapat memberikan teladan bagi mahasiswa agar mahasiswa dapat menghormati dan menerima setiap nasehat dan arahan dari dosen yang bersangkutan. Misalnya dosen harus datang tepat waktu, karena bila dosen sering telat masuk kelas akan menimbulkan asumsi buruk dari mahasiswa yang akhirnya akan dicontoh oleh mahasiswa. Ketelatan dosen masuk kelas juga merupakan korupsi waktu yang bila dilakukan terus-menerus akan menimbulkan budaya baru, yaitu memandang bahwa telat itu sudah biasa. Mahasiswa juga dituntut untuk lebih aktif, mandiri, jujur, dan rajin dalam mengikuti kegiatan perkuliahan. Mahasiswa harus mengubah pola fikir mereka untuk maju. Jangan sampai sebagai calon pendidik atau penerus bangsa, mahasiswa memberikan contoh negatif yang pada akhirnya tidak akan terjadi perubahan pada dirinya dan orang disekitarnya.
Dengan adanya pendidikan anti korupsi dan upaya-upaya dari pihak terkait dalam kampus, diharapkan sedikit demi sedikit budaya korupsi dari hal terkecil dapat diatasi dan pada akhirnya budaya korupsi dalam negara kita dapat dikurangi hingga hilang sampai ke akar-akarnya. Untuk itu marilah kita semua berupaya untuk mewujudkan sosok mahasiswa yang sesungguhnya melalui pendidikan anti korupsi, yaitu mahasiswa yang cakap, berilmu, kreatif, jujur, mandiri serta berakhlak mulia berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa yang pada akhirnya akan terjun kedalam masyarakat sebagai sosok agen perubahan yang benar-benar membawa perubahan kearah yang lebih baik.