Senin, 23 Desember 2013

Menanggulangi Mental Koruptor Akademisi

MENANGGULANGI MENTAL-MENTAL KORUPTOR
DIBALIK SEORANG AKADEMISI
Tidak henti-hentinya semua kalangan baik kalangan masyarakat, kalangan akademis, maupun kalangan birokrasi membicarakan masalah korupsi. Korupsi seolah-olah menjadi santapan wajib yang harus mendapat sentuhan oleh masing-masing orang untuk dibicarakan. Tema korupsi semakin mendapat tempat khusus dalam setiap kajian termasuk dalam kesempatan kali ini. Korupsi berasal dari bahasa Latin yaitu corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik, atau menyogok. Korupsi dapat dimaknai sebagai penyalahgunaan wewenang dalam jabatan yang dimiliki oleh seseorang. Seiring perkembangannya, korupsi semakin diperluas dalam berbagai makna seperti; memakan uang rakyat, mencontek, suap-menyuap, terlambat masuk kelas, dan masih banyak yang lainnya. Dalam kajian ini, penulis mencoba memfokuskan bahasan terhadap tindakan korupsi yang ada dibalik seorang akademisi atau bisa dikatakan kalangan terpelajar. Penulis lebih memfokuskan kajian terhadap mental malas sebagai salah satu bentuk bibit-bibit koruptor yang ada pada akademisi di tingkat perguruan tinggi.
Seperti yang  diketahui bahwa seorang akademisi atau kalangan terpelajar merupakan investasi negara sebagai penerus bangsa. Dapat dikatakan bahwa nasib bangsa dan negara kedepannya sangat ditentukan oleh generasi muda khusunya para akademisi tersebut.  Melalui Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (DIKTI), pemerintah selalu mengusahakan peningkatan SDM Indonesia melalui bidang-bidang akademis. Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah setiap tahunnya untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Upaya-upaya yang dilakukan pemerintah antara lain; pemberian beasiswa bagi orang-orang berprestasi dan kurang mampu, penetapan kebijakan uang kuliah tunggal (UKT), pembangunan sarana dan prasarana yang memadai, pembenahan kurikulum, serta berupaya bekerjasama dengan badan-badan usaha dalam hal pengadaan berbagai macam beasiswa. Usaha-usaha tersebut tentunya harus diimbangi dengan peran masyarakat, dalam hal ini akademisi untuk saling mendukung upaya pemerintah tersebut. Seorang akademisi, hendaknya menggunakan secara penuh dan bertanggung jawab terhadap seluruh fasilitas yang telah diberikan oleh pemerintah. Mahasiswa tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan yang telah didapat ketika sudah berada di perguruan tinggi yang diinginkan.
Namun fenomena yang banyak ditemui oleh penulis telah berkata lain. Tidak sedikit akademisi, dalam hal ini mahasiswa yang tidak bisa menyeimbangkan usaha-usaha yang telah dilakukan oleh pemerintah. Banyak mahasiswa yang justru menyia-nyiakan kesempatan yang mereka peroleh, dan parahnya tidak sedikit mahasiswa yang tergolong dalam hal tersebut adalah mahasiswa yang mendapatkan kesempatan untuk menerima beasiswa yang diberikan oleh pemerintah. Kebiasaan telat, bermalas-malasan untuk kuliah, kuliah ala kadarnya, serta banyak bermain-main merupakan kebiasaan-kebiasaan yang sangat sering disaksikan. Sejatinya mahasiswa merupakan agent of change dalam suatu negara yang seharusnya memberikan contoh-contoh positif serta teladan-teladan yang bermanfaat bagi orang-orang disekitarnya. Diketahui bahwa seleksi penerimaan mahasiswa yang dilakukan terpusat merupakan seleksi yang tidak mudah. Ribuan bahkan ratusan ribu orang memperebutkan bangku kuliah yang mereka impi-impikan hingga akhirnya diputuskan hanya beberapa ribu saja yang mendapatkan kesempatan. Sisanya adalah mereka-mereka yang belum beruntung, sehingga secara otomatis mereka yang telah mendapat kesempatan sebagai mahasiswa mendapat mandat dari mereka yang kurang beruntung untuk meneruskan perjuangan di bidang pendidikan. Dapat dibayangkan betapa kejam dan egoisnya seorang mahasiswa yang telah mendapat kesempatan sekaligus memendam harapan mereka yang kurang beruntung, jika telah menyia-nyiakan apa yang telah diperolehnya sebagai mahasiswa.
Sejatinya jika seorang mahasiswa bermalas-malasan untuk kuliah dan mengikuti berbagai macam kehidupan kampus, ia tidak berbeda dengan seorang koruptor. Apa alasannya? Bagi mahasiswa yang kuliah menggunakan biaya dari orang tua, sudah tentu jika ia bermalas-malasan maka secara tidak langsung ia telah menyalahgunakan kepercayaan dan biaya yang diupayakan oleh orang tuanya. Perlu diketahui bahwa orang tua yang berada jauh disana tidak habis-habisnya bekerja keras demi anak mereka, demi meningkatkan derajat putra dan putri mereka, serta mengangkat derajat keluarga. Orang tua hanya menginginkan anak mereka pandai dan sederajat dengan teman-teman sebayanya. Untuk mahasiswa yang dibiayai oleh beasiswa dari pemerintah, akan semakin jelas statusnya sebagai seorang koruptor jika ia menyia-nyiakan kesempatan untuk berkuliah. Setiap tahunnya pemerintah selalu mengalokasikan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dikhususkan untuk dana pendidikan. Dana pendidikan yang didapat dari APBN dialokasikan kembali kedalam bentuk pembangunan gedung, pengadaan buku-buku kuliah, penunjangan kurikulum, pemberian beasiswa, dan untuk kepentingan penunjang pendidikan lainnya. APBN yang ada merupakan uang rakyat yang didapat melalui hasil pemungutan pajak, retribusi, dan lain-lain. Ini berarti jika sebagai penerima beasiswa seseorang cenderung bermalas-malasan, maka ia tidak jauh berbeda dengan seorang koruptor karena telah mengorbankan dan menyelahgunakan uang rakyat. Penerima beasiswa dalam suatu perguruan tinggi merupakan sosok-sosok pemberi teladan bagi mahasiswa lainnya. Ini berarti, penerima beasiswa seharusnya dapat menjadi panutan bagi mahasiswa lain baik dari segi semangat belajar maupun semangat berorganisasi. Penerima beasiswa hendaknya menggunakan sebaik mungkin kesempatan yang diperoleh dengan lebih memompa semangatnya dalam berkuliah.
Refleksi
Dapat direnungkan bersama-sama berapa banyak orang disekitar yang kesempatannya harus tertunda untuk menuju jenjang perguruan tinggi. Janganlah menggebu-gebu untuk memberantas korupsi terlebih dahulu sebelum berkaca bagaimana dengan diri masing-masing. Memberantas korupsi bukan dimulai dari cara menerapkan undang-undang yang berlaku, memboikot aparat-aparat yang korup, ataupun berdemo besar-besaran menurunkan para koruptor dari meja birokrasi, tetapi memberantas korupsi yang paling efektif adalah dimulai dari diri sendiri. Dapat disaksikan juga saudara-saudara kita yang berada di pelosok-pelosok negeri, betapa besarnya semangat mereka dalam mencari ilmu. Mereka berani mengambil berbagai macam resiko demi mencapai sekolah yang mereka tuju, mulai dari berjalan kaki menelusuri hutan panjang hingga berenang menyebrangi sungai yang lebar dan berarus deras. Sementara sebagian besar orang-orang yang berada di kota malah sebaliknya. Dengan berbagai fasilitas yang memadai seperti jalan yang mudah dilalui, tersedianya kendaraan umum maupun pribadi, tersedianya fasilitas sekolah yang berjarak dekat, dan kemudahan-kemudahan lainnya malah membuat semangat yang dimiliki berlawanan arah dengan mereka. Cenderung malas, datang terlambat, bahkan memilih untuk membolos ketika tidak nyaman pada mata kuliah yang ditempuh merupakan hal-hal yang banyak ditemukan. Orang-orang yang berada di daerah yang memiliki fasilitas pendidikan mendukung cenderung terlena sehingga lebih sering disalahgunakan dan tidak dimanfaatakan sebaik mungkin.
Saran
Sudah saatnya membuang jauh-jauh mental koruptor yang ada didalam diri setiap mahasiswa. Sebagai seorang mahasiswa hendaknya kembali kepada kodrat yang sesungguhnya bahwa mahasiswa sebagai agent of change dalam hal ini perubahan menuju arah yang lebih baik. Memanfaatkan kesempatan sebaik mungkin merupakan salah satu rumusan wajib yang harus tertanam dalam masing-masing benak mahasiswa, tentunya kesempatan dalam melakukan hal-hal yang mengarah kepada kebaikan. Sudah saatnya untuk kembali mempertanggungjawabkan apa yang telah dicapai dan dimiliki. Mahasiswa bukan saatnya lagi untuk bermain-main hingga lupa akan tugasnya sebagai mahasiswa. Mahasiswa harus kembali kepada koridor yang sesungguhnya.

Cara-cara yang harus dilakukan mahasiswa untuk membuang mental-mental koruptor adalah dengan memulai segala sesuatu dari hal-hal yang kecil. Sebagai contoh, menata porsi tidur dan membiasakan bangun pagi, mengurangi kebiasaan-kebiasaan yang tidak terlalu penting, selalu mengerjakan tugas kuliah tepat waktu dengan pemikiran sendiri, ikut berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan kampus, dan menata ulang porsi belajar. Menata porsi tidur dan membiasakan bangun pagi bertujuan agar mahasiswa tidak lagi terjerat masalah bangun kesiangan sehingga akan berakibat telat saat masuk kuliah. Hal tersebut mempengaruhi penilaian dosen terhadap mahasiswa yang secara otomatis dapat menentukan prestasi mahasiswa yang bersangkutan. Meninggalkan kebiasaan-kebiasaan yang tidak terlalu penting. Contohnya bagi mahasiswi seperti  kebiasaan shopping (yang berakibat pemborosan terhadap uang saku yang dikirimkan oleh orang tua) dan ngobrol hingga lupa waktu. Untuk mahasiswa putra yang perlu dikurangi adalah kebiasaan nggame, kebiasaan begadang malam, atau kebiasaan keluyuran. Hal tersebut secara tidak sadar akan mengurangi atau bahkan membuang waktu-waktu produktif yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk menambah pengetahuan. Mengerjakan tugas kuliah tepat waktu dan atas pemikiran sendiri dimaksudkan untuk melatih mahasiswa tertib dalam penggunaan waktu dan menghindari tindakan plagiat (korupsi waktu dan korupsi karya orang lain). Selanjutnya adalah menata ulang porsi belajar. Ini dimaksudkan agar mahasiswa terbiasa menjalani kewajibannya untuk belajar dan membantu mahasiswa dalam mengurangi kebiasaan-kebiasaan yang dapat merugikan waktu dan produktifitas mahasiswa itu sendiri. Yang terakhir adalah ikut berpartisipasi aktif dalam kegiatan-kegiatan yang ada di kampus. Bermacam-macam kegiatan yang disediakan oleh kampus seperti organisai mahasiswa, UKM, dan seminar-seminar hendaknya diikuti oleh mahasiswa. Organisasi, UKM, dan seminar merupakan sarana bagi mahasiswa untuk memperoleh pengetahuan dan pengalaman lebih. Kegiatan-kegiatan itu membekali banyak sekali nilai-nilai baik terhadap mahasiswa seperti kepemimpinan, kerja keras, jujur, disiplin, kerja sama, dan nilai-nilai yang lain. Dengan bergabung dalam kegiatan-kegiatan kampus, mahasiswa dapat menimba ilmu lebih diluar perkuliahan dan dapat memperoleh relasi teman yang berguna di lingkup kampus. Mengikuti kegiatan kampus juga berguna untuk mengisi waktu luang mahasiswa setelah kuliah dan tentunya dapat mengisi waktu luang mahasiswa dengan hal-hal yang sangat berguna dibandingkan dengan bermain-main. Dengan cara-cara seperti itu, mental-mental koruptor yang ada pada setiap diri mahasiswa akan berkurang sehingga mahasiswa benar-benar sadar apa yang seharusnya ia lakukan dan apa yang yang seharusnya ia tinggalkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar