Senin, 23 Desember 2013

Mencontek dan Korupsi

Pengentasan Budaya Mencontek Mahasiswa
Dalam Rangka Mendukung Pelaksanaan Pendidikan Anti Korupsi
Korupsi berasal dari bahasa Latin yaitu corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik, atau menyogok. Korupsi dapat juga kita maknai sebagai penyalahgunaan jabatan dan kesempatan yang dimiliki utuk memperkaya diri dengan berbagai macam cara. Kita semua tentunya sudah tidak asing lagi dengan istilah korupsi, karena hampir setiap hari kita mendengar dan melihat adanya korupsi yang dilakukan oleh pejabat-pejabat negara mulai dari pejabat lokal hingga pejabat nasional. Korupsi di negara kita dapat diibaratkan sebagai pertumbuhan subur jamur di musim penghujan yang jika diambil satu akan tumbuh seribu. Karena itulah hampir seluruh masyarakat di negara ini mengalami krisis kepercayaan terhadap pejabat-pejabat negara. Lalu sampai kapankah mosi tidak percaya dari masyarakat ini akan berlangsung? Dapatkah korupsi di negara kita berkurang dan musnah? Siapakah sosok yang nantinya dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat luas terhadap jalannya pemerintahan? Tentunya dengan serempak banyak pihak yang menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan jawaban pendidikanlah solusi dari semua itu dan akademisi sebagai sosok agen perubahan menuju negara yang lebih baik.
Pendidikan yang diselenggarakan di negara kita haruslah sesuai dengan Undang-Undang Pendidikan yaitu Undang-Undang No.20 Tahun 2003 Pasal 3 yang berbunyi “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Dari pasal tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa pendidikan di negara kita selain untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, mengembangkan potensi diri, kreatifitas dan kecakapan, juga harus dilaksanakan dengan mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab untuk membentuk manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Mahasiswa sebagai agen perubahan (agent of change) di perguruan tinggi diharapkan dapat memberikan teladan yang nantinya dapat berguna bagi masyarakat luas, khusunya teladan dalam mengentaskan kasus korupsi di negara ini. Tentunya tidak sedikit usaha-usaha yang harus dilakukan oleh para agen perubahan tersebut untuk mempertanggungjawabkan statusnya. Kenyataan yang sering terjadi di lapangan, tidak sedikit mahasiswa yang malah menerapkan korupsi-korupsi kecil dalam kegiatan perkuliahannya, seperti datang terlambat saat jam kuliah, pulang awal sebelum jam kuliah selesai, bahkan yang sering terjadi adalah maraknya percontekan antar mahasiswa saat ujian dilaksanakan. Berbicara masalah percontekan tidak asing lagi bagi kita semua, sebab percontekan seolah-olah telah menjadi budaya bagi pelajar-pelajar maupun mahasiswa-mahasiswa di negeri ini. Mencontek saat ujian tidak lagi dipandang sebagai hal yang memalukan tetapi telah dipandang sebagai hal yang sudah biasa dan wajib dilakukan dalam setiap ujian mata kuliah. Anehnya lagi sesuai fakta yang pernah ditemukan penulis, mencontek diantara para mahasiswa dilakukan meskipun teknik ujian yang diberikan dosen berbeda-beda mulai dari take home exam, open book, close book, bahkan dalam ujian lisan pun masih ada mahasiswa yang berkesempatan membawa selembar kertas contekan untuk menjawab pertanyaan dosen dan tindakan tersebut tidak diketahui oleh dosen yang bersangkutan.
Ada 2 (dua) aktor penting yang menjadi penyebab mengapa mencontek saat ujian perkuliahan selalu dilakukan. Pertama adalah mahasiswa itu sendiri. Mahasiswa sebagai agen perubahan atau teladan dari para siswa hendaknya sadar akan posisi mereka. Mahasiswa yang menyontek saat ujian merupakan mahasiswa yang kurang percaya pada diri sendiri. Untuk membangkitkan percaya diri saat ujian, mahasiswa perlu memperbaiki pola belajarnya dengan memperbanyak membaca, mengulas ulang materi perkuliahan yang didapatkan, dan cara lainnya untuk mematangkan pola fikirnya. Kedua yaitu dosen pengajar di kelas. Banyak fenomena yang terjadi bahwa ketika mengadakan ujian, mahasiswa memiliki banyak kesempatan untuk mencari jawaban mahasiswa lainnya. Ini menunjukkan bahwa peran dosen pengajar masih belum maksimal dalam pengkondisian mahasiswa di kelas. Dosen hendaknya selalu memperhatikan kemandirian mahasiswanya dalam mengikuti ujian  dan dosen harus lebih objektif dalam mengondisikan kelas. Jika saat ujian dilaksanakan mahasiswa dapat dengan bebas mencontek jawaban teman atau bebas mencontek pada lembaran kertas contekan dan tidak ada tindakan tegas dari dosen, secara tidak langsung dosen tersebut telah mengajarkan sifat tidak jujur kepada diri mahasiswa. Hal tersebut yang menyebabkan lahirnya budaya mencontek di lingkungan mahasiswa saat ujian ketika tidak ada repon yang diberikan oleh dosen. Karena tidak ada pengawasan dan tindakan itulah mahasiswa menganggap bahwa mencontek itu sudah menjadi hal yang biasa saja dan aman-aman saja.
Untuk menanggulangi kebiasaan buruk tersebut, kehadiran pendidikan anti korupsi sangatlah diperlukan. Pendidikan anti korupsi dipandang perlu untuk dimuat dalam mata kuliah wajib yang harus ditempuh oleh mahasiswa demi menyadarkan akan pentingnya nilai-nilai kejujuran dan kemandirian dalam mengentaskan masalah korupsi. Pendidikan anti korupsi harus diajarkan dimulai dari hal-hal terkecil yang dilakukan mahasiswa sehari-hari, mulai dari pelatihan untuk tidak terlambat masuk kelas, untuk tidak meninggalkan kampus sebelum jam kuliah selesai, dan yang paling penting melatih kejujuran dan kemandirian saat diadakannya ujian. Untuk mewujudkan semua itu, diperlukan keseimbangan antara dosen, mahasiswa, dan pihak-pihak terkait. Dosen dituntut untuk teliti dalam memperhatikan mahasiswanya di kelas terutama ketika ujian berlangsung. Jangan sampai dosen memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk mencontek jawaban dari mahasiswa lain yang pada akhirnya merugikan mahasiswa itu sendiri. Selain itu dosen juga harus dapat memberikan teladan bagi mahasiswa agar mahasiswa dapat menghormati dan menerima setiap nasehat dan arahan dari dosen yang bersangkutan. Misalnya dosen harus datang tepat waktu, karena bila dosen sering telat masuk kelas akan menimbulkan asumsi buruk dari mahasiswa yang akhirnya akan dicontoh oleh mahasiswa. Ketelatan dosen masuk kelas juga merupakan korupsi waktu yang bila dilakukan terus-menerus akan menimbulkan budaya baru, yaitu memandang bahwa telat itu sudah biasa. Mahasiswa juga dituntut untuk lebih aktif, mandiri, jujur, dan rajin dalam mengikuti kegiatan perkuliahan. Mahasiswa harus mengubah pola fikir mereka untuk maju. Jangan sampai sebagai calon pendidik atau penerus bangsa, mahasiswa memberikan contoh negatif yang pada akhirnya tidak akan terjadi perubahan pada dirinya dan orang disekitarnya.
Dengan adanya pendidikan anti korupsi dan upaya-upaya dari pihak terkait dalam kampus, diharapkan sedikit demi sedikit budaya korupsi dari hal terkecil dapat diatasi dan pada akhirnya budaya korupsi dalam negara kita dapat dikurangi hingga hilang sampai ke akar-akarnya. Untuk itu marilah kita semua berupaya untuk mewujudkan sosok mahasiswa yang sesungguhnya melalui pendidikan anti korupsi, yaitu mahasiswa yang cakap, berilmu, kreatif, jujur, mandiri serta berakhlak mulia berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa yang pada akhirnya akan terjun kedalam masyarakat sebagai sosok agen perubahan yang benar-benar membawa perubahan kearah yang lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar