Pengentasan
Budaya Mencontek Mahasiswa
Dalam Rangka Mendukung Pelaksanaan
Pendidikan Anti Korupsi
Korupsi berasal dari bahasa Latin
yaitu corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak,
menggoyahkan, memutar balik, atau menyogok. Korupsi dapat juga kita maknai
sebagai penyalahgunaan jabatan dan kesempatan yang dimiliki utuk memperkaya
diri dengan berbagai macam cara. Kita semua tentunya sudah tidak asing lagi
dengan istilah korupsi, karena hampir setiap hari kita mendengar dan melihat
adanya korupsi yang dilakukan oleh pejabat-pejabat negara mulai dari pejabat
lokal hingga pejabat nasional. Korupsi di negara kita dapat diibaratkan sebagai
pertumbuhan subur jamur di musim penghujan yang jika diambil satu akan tumbuh
seribu. Karena itulah hampir seluruh masyarakat di negara ini mengalami krisis
kepercayaan terhadap pejabat-pejabat negara. Lalu sampai kapankah mosi tidak
percaya dari masyarakat ini akan berlangsung? Dapatkah korupsi di negara kita
berkurang dan musnah? Siapakah sosok yang nantinya dapat mengembalikan
kepercayaan masyarakat luas terhadap jalannya pemerintahan? Tentunya dengan
serempak banyak pihak yang menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan
jawaban pendidikanlah solusi dari semua itu dan akademisi sebagai sosok agen
perubahan menuju negara yang lebih baik.
Pendidikan
yang diselenggarakan di negara kita haruslah sesuai dengan Undang-Undang Pendidikan
yaitu Undang-Undang No.20 Tahun 2003 Pasal 3 yang berbunyi “Pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab”. Dari pasal tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa pendidikan di negara
kita selain untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, mengembangkan potensi diri,
kreatifitas dan kecakapan, juga harus dilaksanakan dengan mandiri, demokratis,
dan bertanggung jawab untuk membentuk manusia yang beriman dan bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa.
Mahasiswa
sebagai agen perubahan (agent of change)
di perguruan tinggi diharapkan dapat memberikan teladan yang nantinya dapat
berguna bagi masyarakat luas, khusunya teladan dalam mengentaskan kasus korupsi
di negara ini. Tentunya tidak sedikit usaha-usaha yang harus dilakukan oleh
para agen perubahan tersebut untuk mempertanggungjawabkan statusnya. Kenyataan
yang sering terjadi di lapangan, tidak sedikit mahasiswa yang malah menerapkan
korupsi-korupsi kecil dalam kegiatan perkuliahannya, seperti datang terlambat
saat jam kuliah, pulang awal sebelum jam kuliah selesai, bahkan yang sering
terjadi adalah maraknya percontekan antar mahasiswa saat ujian dilaksanakan.
Berbicara masalah percontekan tidak asing lagi bagi kita semua, sebab
percontekan seolah-olah telah menjadi budaya bagi pelajar-pelajar maupun
mahasiswa-mahasiswa di negeri ini. Mencontek saat ujian tidak lagi dipandang
sebagai hal yang memalukan tetapi telah dipandang sebagai hal yang sudah biasa
dan wajib dilakukan dalam setiap ujian mata kuliah. Anehnya lagi sesuai fakta
yang pernah ditemukan penulis, mencontek diantara para mahasiswa dilakukan
meskipun teknik ujian yang diberikan dosen berbeda-beda mulai dari take home exam, open book, close book, bahkan
dalam ujian lisan pun masih ada mahasiswa yang berkesempatan membawa selembar
kertas contekan untuk menjawab pertanyaan dosen dan tindakan tersebut tidak
diketahui oleh dosen yang bersangkutan.
Ada
2 (dua) aktor penting yang menjadi penyebab mengapa mencontek saat ujian
perkuliahan selalu dilakukan. Pertama adalah mahasiswa itu sendiri. Mahasiswa
sebagai agen perubahan atau teladan dari para siswa hendaknya sadar akan posisi
mereka. Mahasiswa yang menyontek saat ujian merupakan mahasiswa yang kurang
percaya pada diri sendiri. Untuk membangkitkan percaya diri saat ujian,
mahasiswa perlu memperbaiki pola belajarnya dengan memperbanyak membaca,
mengulas ulang materi perkuliahan yang didapatkan, dan cara lainnya untuk
mematangkan pola fikirnya. Kedua yaitu dosen pengajar di kelas. Banyak fenomena
yang terjadi bahwa ketika mengadakan ujian, mahasiswa memiliki banyak
kesempatan untuk mencari jawaban mahasiswa lainnya. Ini menunjukkan bahwa peran
dosen pengajar masih belum maksimal dalam pengkondisian mahasiswa di kelas.
Dosen hendaknya selalu memperhatikan kemandirian mahasiswanya dalam mengikuti
ujian dan dosen harus lebih objektif
dalam mengondisikan kelas. Jika saat ujian dilaksanakan mahasiswa dapat dengan
bebas mencontek jawaban teman atau bebas mencontek pada lembaran kertas
contekan dan tidak ada tindakan tegas dari dosen, secara tidak langsung dosen
tersebut telah mengajarkan sifat tidak jujur kepada diri mahasiswa. Hal
tersebut yang menyebabkan lahirnya budaya mencontek di lingkungan mahasiswa
saat ujian ketika tidak ada repon yang diberikan oleh dosen. Karena tidak ada
pengawasan dan tindakan itulah mahasiswa menganggap bahwa mencontek itu sudah
menjadi hal yang biasa saja dan aman-aman saja.
Untuk
menanggulangi kebiasaan buruk tersebut, kehadiran pendidikan anti korupsi
sangatlah diperlukan. Pendidikan anti korupsi dipandang perlu untuk dimuat
dalam mata kuliah wajib yang harus ditempuh oleh mahasiswa demi menyadarkan
akan pentingnya nilai-nilai kejujuran dan kemandirian dalam mengentaskan
masalah korupsi. Pendidikan anti korupsi harus diajarkan dimulai dari hal-hal
terkecil yang dilakukan mahasiswa sehari-hari, mulai dari pelatihan untuk tidak
terlambat masuk kelas, untuk tidak meninggalkan kampus sebelum jam kuliah
selesai, dan yang paling penting melatih kejujuran dan kemandirian saat
diadakannya ujian. Untuk mewujudkan semua itu, diperlukan keseimbangan antara
dosen, mahasiswa, dan pihak-pihak terkait. Dosen dituntut untuk teliti dalam
memperhatikan mahasiswanya di kelas terutama ketika ujian berlangsung. Jangan
sampai dosen memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk mencontek jawaban
dari mahasiswa lain yang pada akhirnya merugikan mahasiswa itu sendiri. Selain
itu dosen juga harus dapat memberikan teladan bagi mahasiswa agar mahasiswa
dapat menghormati dan menerima setiap nasehat dan arahan dari dosen yang
bersangkutan. Misalnya dosen harus datang tepat waktu, karena bila dosen sering
telat masuk kelas akan menimbulkan asumsi buruk dari mahasiswa yang akhirnya
akan dicontoh oleh mahasiswa. Ketelatan dosen masuk kelas juga merupakan
korupsi waktu yang bila dilakukan terus-menerus akan menimbulkan budaya baru,
yaitu memandang bahwa telat itu sudah biasa. Mahasiswa juga dituntut untuk
lebih aktif, mandiri, jujur, dan rajin dalam mengikuti kegiatan perkuliahan.
Mahasiswa harus mengubah pola fikir mereka untuk maju. Jangan sampai sebagai
calon pendidik atau penerus bangsa, mahasiswa memberikan contoh negatif yang
pada akhirnya tidak akan terjadi perubahan pada dirinya dan orang disekitarnya.
Dengan
adanya pendidikan anti korupsi dan upaya-upaya dari pihak terkait dalam kampus,
diharapkan sedikit demi sedikit budaya korupsi dari hal terkecil dapat diatasi
dan pada akhirnya budaya korupsi dalam negara kita dapat dikurangi hingga
hilang sampai ke akar-akarnya. Untuk itu marilah kita semua berupaya untuk
mewujudkan sosok mahasiswa yang sesungguhnya melalui pendidikan anti korupsi,
yaitu mahasiswa yang cakap, berilmu, kreatif, jujur, mandiri serta berakhlak
mulia berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa yang pada akhirnya akan terjun kedalam
masyarakat sebagai sosok agen perubahan yang benar-benar membawa perubahan kearah
yang lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar